115 Tahun Mohammad Natsir (17 Juli 1908 - 17 Juli 2023): Refleksi atas Tulisan Buya Natsir, “Jangan Berhenti Tangan Mendayung Nanti Arus Membawa Hanyut”
TOPIK1,Medan // Dimulai dengan sebuah tulisan oleh salah seorang pahlawan nasional, pejuang kemerdekaan, penggagas Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sahabat karib dari Kyai Haji Noer Ali Bekasi yang kemudian bersama-sama memperjuangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyampaikan Mosi lntegralnya pada tahun 1950.
Beliaulah Buya Mohammad Natsir, lahir disebuah kampung Lembah Gumanti, Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat 17 Juli 1908.
Pada tahun 1951 menyampaikan keresahannya dalam bentuk seruan, “Jangan berhenti tangan mendayung nanti arus membawa hanyut”.
Tulisan tersebut tersimpulkan dalam dua kalimat yang pendek, “dulu kita kehilangan tapi rasa mendapatkan, kini kita mendapatkan tapi rasa kehilangan”.
Beliau sampaikan bahwa selama perjuangan kemerdekaan apapun di korbankan. Harta, nyawa, keluarga, bahkan kekuasaan, disumbangkan untuk perjuangan merebut dan meraih kemerdekaan.
Namun dari semua serba kehilangan tersebut ada tersirat rona wajah kebanggaan dan kebahagiaan dari rakyat Indonesia, dan seluruh elemen masyarakat yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Kenapa? Karena mereka paham bahwa kehilangan itu semua nantinya akan mendapatkan sesuatu yang mulia dan di dambakan yaitu kemerdekaan.
Namun kini, beliau sampaikan, justru setelah 6 tahun merdeka, mendapatkan kebebasan dari penjajahan, pada tahun 1951 beliau sampaikan keprihatinan tersebut, dan 2 tahun berdaulat, kita merasakan kehilangan. Pada tahun 1949 Indonesia ini mendapatkan kedaulatannya secara kokoh dan formal dimana kedaulatan sebuah negara salah satu syaratnya dengan mendapatkan pengakuan kedaulatan dari negara-negara berdaulat lainnya. Haji Agus Salim Menteri Muda Luar Negeri RI , Profesor Rasyidi menteri agama pertama, dan AR Baswedan -Abdurrahman Baswedan- kakek dari Anis Baswedan dan lainnya bersama-sama sebagai delegasi Indonesia untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan ke negeri-negeri Arab. Negeri-negeri Islamlah yang pertama sekali memberikan pengakuan kedaulatan. Mesir, Palestina, Jordan, Qatar, Arab Saudi adalah negeri-negeri yang pertama memberikan pengakuan kedaulatan kepada negeri ini. Kenapa diawali dengan menemui negeri-negeri Arab Islam, jelas karena ikatan dan kesamaan aqidah dan ukhuwah Islamiyah. Ikatan inilah yang sama sekali memudahkan pengakuan dan dukungan dari sesama negeri Muslim. Sementara negar-negara barat saat itu, lima di antaranya yang menjajah Indonesia ; Portugis, Spanyol, Belanda, Jepang dan Inggris bukanlah negeri-negeri Islam. Negara-negara Arab Islam yang pertama kali memberikan pengakuan kedaulatan kepada kita, yang seringkali disalahpahami, difitnah dan dituduh oleh sebagian kalangan yang tidak bertanggung jawab. Padahal tidak satu pun negara-negara Arab pernah menjajah Indonesia. Justru setelah merdeka, kata pak Natsir, wajah rakyat nampak tidak bahagia dan tidak bangga.
Nampak kesusahan dan kesulitan, padahal kita telah mendapatkan apa yang di dambakan ratusan tahun lamanya diperjuangkan dengan susah payah yakni kemerdekaan itu sendiri.
Perjuangan kita belum selesai bahkan mungkin baru dimulai. Musuh belum hilang dari tanah air. Namun musuh itu berubah bentuk, berubah tempat, berubah waktu. Setelah kemerdekaan diraih, permasalahan masih banyak bahkan PR yang saat itu diucapkan oleh beliau tahun 1951 masih berkelindan PR-PR yang sama juga di masa kini.
Sekarang kehidupan rakyat di tanah air sangat berat. Begitu banyak masalah, beban kehidupan, dan tantangan yang harus dihadapi. Di negeri sendiri, kita menghadapi masalah kemiskinan, kebodohan, liberalisasi ekonomi dan pemikiran, konflik sosial, merebaknya budaya barat, tirani media, tirani minoritas, korupsi birokrasi, eksploitasi kekayaan nasional, berkembangnya aliran-aliran sesat, dekadensi moral, kriminalitas, apatisme publik dan lain-lain. Masalah-masalah ini saling kait-mengkait, terkoneksi secara kompleks satu jalur dengan jalur lainnya.
Di tahun 2023 ini ada korupsi dilembaga anti korupsi, ada potensi disintegrasi bangsa, ada degradasi moral yang mengerikan; seorang bapak menggauli anak kandungnya sampai lahir 7 bayi yang kemudian dibunuh semuanya, ada tawuran dan begal yang dilakukan oleh anak-anak remaja setiap hari setiap malam, ada politik machiaveli, politik menghalalkan segala cara, politik amoral, berlakunya sistem ekonomi liberal yang semakin menjauhkan jarak antara si kaya dengan si miskin, si kaya makin kaya dan si miskin makin miskin. itulah musuh-musuh. Kita baru di tengah lautan, di tengah gelombang, belum sampai ke tempat berlabuh, ke Dermaga, ke Pelabuhan. apabila tangan berhenti mendayung, berhenti berjuang, berhenti berkorban, berhenti mengeluarkan keringat, maka bisa jadi perahu, sampan, akan diseret oleh arus ke tempat yang tidak harapkan. Bahkan justru berbahaya bagi perahu dan bagi keselamatan bersama.
Kemudian beliau bertanya, bagaimana caranya bisa melepaskan diri dari jeratan arus yang berbahaya itu? Dari jebakan gelombang yang sangat mematikan seperti itu? Jawabannya adalah mulailah kembali mendayung!, mulailah berpeluh lagi, berjuang dan berkorban lagi. Di saat individualisme merebak, sebagian kalangan di negeri ini mementingkan kepentingan-kepentingan pribadinya dan kelompoknya semata, di saat pragmatisme merajalela merusak mental anak bangsa, di saat hedonisme mengejar-ngejar harta kekayaan dan kesenangan-kesenangan sesaat, di saat seperti itu semua virus menghajar kita semua baik pribadi, keluarga maupun bangsa ini. Maka PR-PR tersebut harus di selesaikan dengan cara kembali mendayung untuk menyelamatkan negeri ini. inilah yang harus dilakukan oleh kaum muslimin di negeri ini. kita harus berpikir untuk kepentingan bersama, kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan pribadi, golongan, kelompoknya saja, partainya saja, tetapi untuk kepentingan bersama bagi kejayaan bangsa Indonesia ke depan.
Saatnya anak bangsa belajar dan mengambil teladan dari para pendiri bangsa, mereka mendapatkan pendidikan yang baik di sekolah-sekolah Barat dan dengan hasil didikan itu mereka sebenarnya dapat memilih hidup berkecukupan dengan menjadi pegawai negeri bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda pada saat itu, tetapi mereka memilih terjun berkuah keringat, banjir darah bersama rakyat untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Bung Karno yang ketika dibuang ke Ende tahun 1932 menyurati gurunya Tuan A Hassan di Bandung “agar membeli buku terjemahannya sehingga dapatlah anak dan istri kami makan pada hari ini”, katanya.
Seorang tokoh sebesar Soekarno menjadi Presiden di kemudian hari - menjual buku agar anak dan istrinya bisa makan. Tidak dapat dibayangkan presiden sekarang ataupun presiden-presiden setelah Soekarno yang menyurati gurunya, menjual buku agar anak istrinya bisa makan. Seorang wakil presiden dan Perdana Menteri, Muhamad Hatta, tahun 1950 menginginkan membeli sepatu bermerk bally, tahun 50-an sepatu ini sangat terkenal, dan sampai wafatnya sepatu tersebut tidak dapat terbeli oleh beliau. Tidak dapat terbeli oleh seorang Wakil Presiden, oleh seorang Perdana Menteri, yang ketika uang terkumpul pada dirinya semua disumbangkan untuk perjuangan kemerdekaan. kliping koran iklan sepatu Bally itu masih tersimpan rapi sampai wafatnya di buku harian bung Hatta.
Syahrir, seorang Perdana Menteri, harus menjual satu-satunya mesin jahit di rumahnya yang selama ini menjadi mata pencaharian keluarga. Ia jual untuk makan istri dan anaknya. Begitu pula Roem, begitu pula Kasman, Wahid Hasyim, Ki Bagus, dan lain-lain. Juga para seniornya, Tjokroaminoto, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Soerkati, A. Hassan, Haji Agus Salim yang rumah kontrakannya senantiasa bocor. Pak Natsir yang pernah menjadi Menteri Penerangan tiga kali dan Perdana Menteri hanya memiliki satu jas yang sudah bertambal dan hanya memiliki dua baju kemeja yang layak pakai. Kemeja putih yang bernoda tinta di saku bajunya dan kemeja batik biru yang sudah lusuh.
Ketika mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri, Natsir mengembalikan mobil dinas lalu berboncengan naik sepeda ontel bersama sopirnya kembali ke rumah.(Wildan Hadan, S. Sos. I, M. Pd. I, Kandidat Doktor Universitas Islam Jakarta, Pengurus MUI Pusat).
Inilah contoh keteladanan luar biasa, contoh perjuangan dan pengorbanan yang telah diteladani oleh para pendiri bangsa yang semestinya diteladani oleh para pemimpin kita, oleh para petinggi negeri ini, agar rakyat dan pemimpin sama-sama berjuang dan berkorban untuk mengeluarkan bangsa dari kondisi keterpurukan. Tidak mungkin terjadi kalau mereka meneladani para tokoh bangsa terdahulu, ada seorang Gubernur untuk biaya makan minumnya 1 hari mencapai 1 miliar, ini tidak mungkin terjadi apabila mereka meneladani tokoh-tokoh bangsa, kemudian di sebuah lembaga pemberantasan korupsi terjadi korupsi pula di situ. Inilah objektivikasi kita untuk memperbaiki kondisi keberagamaan dan kebangsaan saat ini. Haji Agus Salim mengatakan apakah apabila negeri ini miskin tidak memiliki kekayaan alam di bawah tanah dan di atas tanahnya lalu kemudian kita tidak berjuang untuk memerdekakan negeri ini? Tidak! Kita akan tetap berjuang, karena memperjuangkan kemerdekaan bangsa, memperjuangkan agar terlepas dari penjajahan manusia atas manusia, itu perintah Allah. Berjuang bukan karena Indonesia ini miskin atau kaya, berjuang karena Allah Ta'ala memerintahkan untuk melawan penjajahan, untuk mencintai bangsa ini, yang merupakan bagian dari penunaian ajaran Allah dan teladan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Mari kita menjadi teladan pula, setelah mengambil teladan dari para tokoh bangsa, menjadi teladan bagi anak-anak, generasi muda kita. Menjadi teladan bagi pelanjut dan para pemimpin bangsa ke depan. Nabi Ibrahim Alaihissalam menjadikan dirinya teladan yang layak dan pantas bagi anaknya sehingga ketika beliau sampaikan, “Allah memerintahkanku untuk menyembelihmu”, anaknya spontan dengan tegas menjawab “Ya aba tif’al ma tu’mar!” wahai Ayahanda kerjakan apa yang Allah perintahkan tersebut. Salah seorang Capres menulis dalam satu bukunya berjudul Merawat Tenun Kebangsaan, ia menyatakan bahwa Ismail saat itu sudah akhil baligh, usia belasan tahun sudah dapat berpikir kritis, sudah bisa bertanya dan sudah bisa membantah apabila bapaknya, Ibrahim ini orang yang tidak layak diteladani.
Justru karena bapaknya seorang mukmin yang shaleh, ketaqwaannya bulat kepada Allah, beliau mencontohkan kehidupan yang jujur, amanah, maka kemudian anaknya Ismail yakin benar ini perintah Allah subhanahu wa ta'ala.
Dalam Pengantar Buku Mohammad Natsir Sebuah Biografi,Mosi Integral Mohammad Natsir menurut Bung Karno memiliki konsep yang kuat untuk menyelamatkan Republik melalui jalur konsitusi.
Mengungkap dan mengetengahkan sejarah agar catatan dan fakta sejarah aslinya tidak buram atau diburamkan adalah penting.
Bung Karno mengatakan, " Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya".
Pak Natsir bukan hanya sebagai Pahlawan Nasional, melainkan sebagai Bapak NKRI. Seandainya tidak ada Mosi Integral Natsir mungkin tidak ada Indonesia saat ini.
Sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
KHATIMAH.
Hal yang istimewa dari sosok Pak Natsir adalah kepemimpinannya diwarnai dengan kebijaksanaan dan kelembutan.
Senantiasa seiya sekata antara ucapan dan perbuatan, selalu berbicara dengan penuh sopan, rendah hati dan bersuara lembut, tanpa pernah berkata kasar atau merendahkan lawan-lawan politiknya.
Kita rindu dengan sosok dan tauladan bersahaja ini.
Mengambil spirit untuk memperbaiki pribadi, semangat memperbaiki keluarga, semangat memperbaiki keberagamaan kita, kenegaraan dan kebangsaan yang kita cintai.
Abdul Aziz, ST:
Anggota Dewan Tafkir PP PERSIS.
Pengurus Majelis Syuro DDII Sumut.
Post a Comment