PELECEHAN YANG DILAKUKAN PIMPINAN PESANTREN DALAM PERSPEKTIF PANCASILA
Namun, akhir-akhir ini, pesantren malah justru disalahgunakan sebagai tempat yang berperluang melakukan perbuatan pelecehan seksual oleh oknum tertentu, tak terkecuali pimpinannya. Seperti yang terjadi di Pondok Pesantren di Cikande, Serang, Banten. Pimpinan pondok pesantren di Cikande, Serang, Banten, ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan pencabulan dan pelecehan terhadap tiga santrinya. Pria berinisial K itu ditangkap oleh Kepolisian Resor Serang di Kampung Badak, Desa Gembor Udik, pada Minggu, 1 Desember 2024.
Kapolres Serang, AKBP Condro Sasongko, menyatakan K ini mencabuli tiga santrinya berulang kali sejak 2021. Perbuatan itu dilakukan di dalam pondok pesantren. Ada dugaan pencabulan dan pelecehan seksual oleh seorang pengajar dan pimpinan pondok pesantren, sekaligus anak dari pendiri pondok pesantren, tiga korban tersebut merupakan anak di bawah umur. Salah satu korban disetubuhi hingga hamil. Tersangka kemudian mengaborsi korban tersebut untuk menutupi perbuatannya.
Atas perbuatan tersebut, K dikenakan Pasal 81 Ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal 82 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dan dapat dikenakan pidana paling lama 20 tahun penjara. Karena ada pemberatan di mana tersangka merupakan tenaga pengajar.
Isu Hukum dalam Perspektif Pancasila
Isu hukum yang terjadi dalam kasus pencabulan dan pelecehan seksual oleh pimpinan pondok pesantren terhadap santri di Banten ini sangat serius dan mengundang perhatian kita semua. Dari perspektif Pancasila, kasus ini menyinggung beberapa nilai dasar yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, dan harus dilihat secara mendalam dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan perlindungan terhadap anak.
Dari sudut pandang Pancasila, perbuatan tersebut adalah tindakan kekerasan terhadap kemanusiaan dan merupakan pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar bangsa ini. Negara, melalui lembaga penegak hukum, harus memberikan perlindungan yang maksimal bagi korban dan memastikan keadilan ditegakkan dengan sanksi hukum yang tegas. Korban yang masih anak-anak tidak hanya mengalami trauma fisik dan psikologis, tetapi juga hak mereka atas perlindungan dan keadilan dirampas secara tidak manusiawi. Apa yang terjadi dalam kasus ini sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang menjadi landasan negara Indonesia.
Dalam konteks ini, perbuatan pimpinan pondok pesantren tersebut telah merusak keharmonisan dan kepercayaan antarwarga masyarakat, khususnya antar santri dan pengasuh pesantren. Masyarakat Indonesia sangat menghormati nilai-nilai pendidikan agama, dan pesantren merupakan tempat yang seharusnya memberikan pembinaan moral dan spiritual. Namun, dengan adanya tindakan seperti ini, institusi pesantren yang seharusnya menjadi tempat untuk menuntut ilmu malah disalahgunakan oleh oknum yang memiliki kekuasaan dan pengaruh besar. Ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan berbasis agama.
Pancasila mengajarkan bahwa setiap tindakan yang merusak persatuan dan integritas lembaga pendidikan, terutama yang mengedepankan nilai-nilai agama dan moralitas, harus ditindak tegas. Kasus ini mengingatkan kita bahwa perlu ada pengawasan yang lebih ketat terhadap lembaga pendidikan, khususnya pesantren, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang seharusnya memberikan teladan.
Sila keempat mengajarkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, negara dan aparat hukum harus bertindak dengan kebijaksanaan dan mengutamakan musyawarah dalam mencari solusi. Kehadiran negara dan aparat penegak hukum sangat penting untuk mengusut tuntas kasus ini dan memastikan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Selain itu, musyawarah untuk mencari keadilan bagi korban, yang tentunya harus melibatkan berbagai pihak, baik keluarga, masyarakat, maupun pihak berwenang, adalah langkah yang penting. Aparat hukum harus bersikap bijaksana dan adil. Proses peradilan harus memastikan bahwa hak-hak korban terlindungi, dan bahwa tersangka mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Musyawarah yang melibatkan berbagai pihak juga penting untuk menghindari ketidakadilan dalam penanganan kasus ini.
Kasus ini jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap keadilan sosial, karena korban, yang masih anak-anak dan tidak memiliki kekuatan untuk membela diri, telah menjadi korban dari penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini, yang harus diperjuangkan adalah keadilan bagi korban, yaitu pemulihan hak-haknya sebagai anak yang seharusnya dilindungi. Tidak ada satu pun individu, terutama yang dalam posisi berkewajiban mendidik, yang boleh menzalimi orang lain, apalagi dengan cara yang mengerikan seperti ini.
Saran untuk Ke Depannya
1. Penguatan Regulasi dan Pengawasan terhadap Pesantren
Pesantren harus diawasi dengan lebih ketat, terutama yang berkaitan dengan perlindungan anak dan keamanan santri. Salah satu langkah yang perlu diambil adalah dengan memastikan bahwa pimpinan pesantren dan pengajar memiliki latar belakang yang bersih dari pelanggaran hukum, terutama terkait kekerasan seksual. Negara perlu membuat regulasi yang lebih ketat mengenai pemilihan dan pengawasan pimpinan pesantren serta memastikan adanya audit independen secara berkala untuk memastikan bahwa pesantren benar-benar menjadi tempat yang aman dan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan.
2. Peningkatan Pendidikan dan Kesadaran Hukum di Pesantren
Pendidikan di pesantren perlu diperkuat dengan pendidikan tentang hak-hak asasi manusia, perlindungan anak, serta keberagaman dan toleransi. Para santri harus diberikan pemahaman yang kuat tentang hak-hak mereka, termasuk hak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan. Selain itu, perlu ada pelatihan tentang etika dan moralitas bagi pengasuh dan pimpinan pesantren, agar mereka lebih memahami tanggung jawab moral mereka terhadap para santri.
3. Penguatan Sistem Hukum dan Perlindungan Anak
Negara harus lebih tegas dalam menegakkan hukum, terutama yang berkaitan dengan perlindungan anak. Dalam hal ini, hukum harus berpihak kepada korban, dengan memastikan sanksi yang berat terhadap pelaku, serta perlindungan yang maksimal terhadap korban. Pencabulan terhadap anak, apalagi yang dilakukan oleh pihak yang memiliki posisi otoritas seperti pimpinan pesantren, harus dihukum dengan hukuman yang setimpal dan memberikan efek jera. Selain itu, negara juga perlu memperkuat lembaga perlindungan anak yang dapat memberikan dukungan psikologis dan sosial bagi korban, sehingga mereka bisa mendapatkan pemulihan yang diperlukan untuk kembali menjalani hidup yang lebih baik.
4. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan
Masyarakat juga memiliki peran yang sangat penting dalam mengawasi lingkungan sekitar, termasuk lembaga pendidikan. Kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam melaporkan setiap tindakan yang mencurigakan atau bertentangan dengan hukum harus ditingkatkan. Masyarakat dapat bekerja sama dengan pihak berwenang untuk memastikan bahwa tindakan kekerasan dan pelecehan di pesantren atau di lembaga pendidikan lainnya tidak dibiarkan.
5. Dukungan Psikologis bagi Korban
Penting untuk menyediakan pendampingan psikologis dan layanan pemulihan bagi korban kekerasan seksual, terutama bagi anak-anak yang menjadi korban. Pemulihan ini harus bersifat komprehensif, tidak hanya mengurus luka fisik, tetapi juga trauma psikologis yang mungkin akan bertahan lama. Dengan demikian, korban bisa mendapatkan kesempatan untuk mengembalikan kehidupan normal mereka
Red:Ari Musafak - Mahasiswa Fakultas Hukum Unpam Serang
Post a Comment